Warung Legendaris Langganan Anak SMANTA

Nasi Pecel khas warung Bu Mekar
Semua siswa SMAN 1 Talun pasti tahu tentang warung Bu Mekar. Dari generasi pertama, angkatan pertama SMAN 1 Talun (waktu itu namanya masih SMPP), pasti tahu keberadaan, rasa, bahkan daftar harga di warung ini.

Warung Bu Mekar, atau yang sekarang sering diplesetkan menjadi Bu Mekrok ('mekrok' dalam bahasa Jawa berarti mekar), adalah destinasi wisata kuliner harian siswa. Harganya yang terjangkau dan rasa masakan yang memuaskan lidah membuat hati senang, terutama bagi para siswa SMA notabene uang sakunya pas-pasan tapi ingin makan kenyang. Misalnya saja nasi pecel. Di warung Bu Mekar, satu porsi nasi pecel untuk pelajar harganya hanya Rp3.500,00. Jika ditambah lauk ayam atau lele, harganya menjadi Rp7.000,00. Jika ditambah telur harganya menjadi Rp6.000,00. Tetapi harga itu berbeda sedikit jika pembelinya orang dewasa, karena menurut penjualnya, kasihan kalau harga untuk anak sekolah dan orang dewasa disamakan. Baik sekali, ya?

Warung yang terletak di sebelah utara SMAN 1 Talun ini juga sangat terkenal di kalangan anak kos SMANTA. Karena kebanyakan siswa juga kos di utara sekolah, dekat dengan warung Bu Mekar, seringkali siswa-siswi yang kos membeli makanan di warung ini. Warung Bu Mekar juga sering 'mensponsori' acara-acara diklat di SMANTA, karena pada dasarnya warung Bu Mekar adalah tempat pertama yang dituju panitia bagian konsumsi.

Namun di luar rasa masakan yang lezat dan harga yang terjangkau, kebanyakan siswa-siswi SMAN 1 Talun pelanggan Bu Mekar belum tahu cerita di balik warung legendaris ini.

Mewawancari narasumber. Bu Mesini/Bu Mekar ada di paling kanan.
Warung Bu Mekar berdiri pada tahun 1966, jadi sekarang umurnya sudah empat puluh sembilan tahun. Maka dari itu, kami menyebutnya 'warung legendaris'. Bahkan warung ini lebih tua dari SMAN 1 Talun itu sendiri. SMAN 1 Talun baru berdiri kurang lebih delapan tahun kemudian. Warung ini, meskipun pada awalnya hanyalah sebuah petak warung kecil di pojok jalan, sangatlah kondang dari generasi ke generasi. Sejak SMAN 1 Talun mendidik siswa angkatan pertama hingga kesekian puluh sekarang, warung Bu Mekar tetap eksis.

Akan tetapi, aslinya warung itu namanya bukan Warung Bu Mekar. Bahkan pemilik warung itu namanya bukan Bu Mekar, melainkan Bu Mesini. Namun karena dulu warung dan kiosnya dinamakan Mekarsari, para siswa SMANTA yang menjadi pelanggan mulai menganggapnya Warung Bu Mekar. Bu Mesini membangun warungnya ini ketika beliau masih memiliki satu anak. Sekarang beliau sudah memiliki cicit, alias sudah menjadi buyut.

Alasan lain mengapa warung Bu Mekar sangat layak diberi sebutan terhormat 'warung legendaris' adalah karena rasanya tidak pernah berubah. Para alumni SMAN 1 Talun yang di masa sekolahnya merupakan pelanggan warung ini, ketika merasakan lagi pecel Bu Mekar lima atau sepuluh tahun kemudian masih merasakan cita rasa yang sama seperti yang mereka rasakan saat SMA. Bahkan menurut cerita Bu Mesini, ada juga alumni yang saat pulang kuliah bukannya langsung ke rumah, tapi mampir dulu ke warungnya, hanya untuk merasakan nasi pecel Bu Mekar yang legendaris. Rahasia dari cita rasa yang bertahan selama 49 tahun itu tak lain dan tak bukan adalah karena komposisi yang tidak pernah berubah. Bahkan ketika harga cabai sedang gila-gilanya, Bu Mesini tidak mengurangi takaran cabai demi mempertahankan rasa legendaris itu. Salut pada Bu Mesini atas konsistensinya menjaga rasa legendaris nasi pecel yang dicintai siswa SMAN 1 Talun dari generasi ke generasi.

Learn more »

Pembendung Air dan Pembangkit Listrik



            PLTA Jegu adalah pembangkit listrik tenaga air yang terletak di desa Jegu, kecamatan Sutojayan. PLTA ini dibangun pada bulan Mei, 1972 untuk menyediakan air irigasi bagi daerah sekitar Ludoyo dan Tulungagung.

            PLTA, seperti yang kita tahu, adalah instalasi yang dapat mengolah air menjadi energi listrik. Maka PLTA Jegu ini juga memiliki fungsi serupa. Berkat adanya PLTA Jegu, daerah sekitar Ludoyo dan Tulungagung dapat menikmati aliran listrik dan air. Bukan hanya itu, PLTA Jegu juga memiliki berbagai fungsi lainnya. Fungsi-fungsi itu diantaranya adalah untuk mengendalikan banjir, menahan sedimen karena letusan Gunung Kelud, dan juga sebagai objek pariwisata.
            PLTA Jegu dapat mencegah dan mengendalikan banjir karena PLTA Jegu membendung banyak sungai, yaitu Sungai Birowo, Sungai Semen, Sungai Lekso, Sungai Sumber Agung, Sungai Njari, dan Sungai Legi. Jadi, selain dapat mengolah air sungai menjadi energi listrik, sebagai bendungan PLTA Jegu juga dapat mencegah banjir.
            Pembangunan PLTA Jegu yang luar biasa ini tentu saja tidak akan berhasil tanpa dana besar dan usaha keras. Menurut Mas Bagus, petugas ruang kontrol di PLTA Jegu yang kami wawancarai, proses pembangunan PLTA Jegu membutuhkan waktu yang sangat lama, yaitu kurang lebih selama sekitar tujuh tahun. Pembangunan dimulai pada bulan Mei tahun 1972 dan baru selesai pada bulan November tahun 1979. Selain itu, dana yang dikeluarkan untuk membangun PLTA Jegu juga sangat besar. Pembangunan PLTA Jegu selama tujuh tahun itu menghabiskan dana sebesar US$ 38.350.000. Jika kita konversikan ke Rupiah dengan kurs saat ini, maka pembangunan PLTA Jegu itu menghabiskan dana sekitar 517.725.000.000. Tetapi jika dikonversi dengan kurs USD-IDR pada masa itu, mungkin jauh sedikit, karena seperti yang kita tahu, rupiah semakin melemah, terutama satu tahun belakangan ini. Uang sebesar itu didapat dari dana APBN dan bantuan dana luar negeri. Saat ini, masyarakat setempat dapat menikmati hasil pembangunan PLTA Jegu dengan sangat nyata, sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan dana besar untuk membangun PLTA Jegu sangatlah tepat.
            PLTA Jegu baru dibuka untuk masyarakat umum dua puluh sembilan tahun setelah pembangunannya selesai. Menurut narasumber yang kami wawancarai, yaitu Pak Hanimarsongko yang bekerja di pintu masuk PLTA Jegu, ide dibukanya PLTA Jegu untuk masyarakat luas demi mendapat keuntungan pariwisata datang dari pengelola bendungan di masa itu. Pada tahun 2006, dibangun taman di area PLTA Jegu. Dua tahun kemudian, PLTA Jegu dibuka untuk masyarakat. Saat ini, kurang lebih dua ratus orang mengunjungi PLTA Jegu setiap harinya. Pengunjung yang masuk ke PLTA Jegu, jika dewasa ditarik retribusi sebesar seribu rupiah, sementara anak-anak ditarik setengahnya dari retribusi pengunjung dewasa, yaitu sebesar lima ratus rupiah.
Learn more »

Suku Buthak : Dingin yang Menyejukkan



            Air terjun merupakan salah satu destinasi wisata yang dapat digunakan sebagai sarana refreshing dari segala hiruk pikuk dan padatnya aktivitas dalam keseharian. Kesegaran airnya mampu mencairkan bongkahan masalah yang mungkin sedang mengganggu mood kita. Berwisata ke air terjun juga dapat meningkatkan rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, betapa besar kuasa-Nya dan betapa Maha Besar Tuhan kita yang menciptakan keindahan bak lukisan yang mengagumkan.
            Tujuan kami kali ini adalah Air Terjun Suku Buthak, yaitu air terjun di kawasan agrowisata Sirah Kencong. Tepatnya di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Nama Suku Buthak diberikan karena sumber air terjun ini berasal dari Gunung Buthak. Air terjun setinggi 50 meter ini terlihat begitu indah dipandang mata. Beberapa pohon paku tiang di sekitar air terjun juga menambah daya tarik tempat ini.

Perjalanan menuju lokasi cukup mengasikkan, berangkat dari Desa Ngaringan, Gandusari, jarak tempuhnya kurang lebih 8 km. Memasuki kawasan wisata Sirah Kencong, dinginnya udara sampai menusuk tulang, tapi sejauh mata memandang terlihat warna hijau yang asri dan menyejukkan. Sebenarnya Kabupaten Blitar-pun bisa menyamai bahkan melebihi Kota Batu yang terkenal akan agrowisata-nya. Blitar punya banyak sekali potensi yang jika digali dan dikelola dengan baik akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
            Air terjun Suku Buthak resmi dibuka untuk umum pada tahun 2015. Sebenarnya sejak 2013 sudah banyak yang tahu mengenai keberadaan air terjun ini. Akan tetapi pada saat itu belum ada ijin dari perhutani untuk mengelola tempat ini sebagai objek wisata. Berdasarkan survey yang kami lakukan pada 30 responden, 100% menyatakan bahwa sarana prasarana tempat wisata di kabupaten Blitar belum terpenuhi. Hal tersebut juga terjadi di kawasan wisata air terjun ini, sarana prasarana seperti toilet umum belum tersedia di lokasi.
            Menurut Bapak Tukimin Matohir (65), juru kunci air terjun, telah dilakukan penanaman beberapa tanaman bunga untuk memperindah taman sekitar air terjun. Sepanjang perjalanan menuju air terjun dari tempat parkir, Anda perlu berjalan kaki sejauh kurang lebih 700 meter. Terlihat di pinggiran jalan setapak menuju air terjun ada bibit-bibit tanaman dan bunga yang sengaja ditanam oleh pihak perhutani, alasannya tentu untuk penghijauan dan menambah keindahan kawasan air terjun.
            Karang taruna adalah pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan air terjun ini. Sekitar 50 orang per harinya berkunjung ke lokasi. Tidak ada karcis atau tiket masuk menuju tempat wisata, di dekat air terjun ada sebuah lincak tempat duduk juru kunci yang di sampingnya ada kotak amal yang bisa diisi seikhlasnya oleh para pengunjung.
Juru kunci yang bekerja atas inisiatifnya sendiri ini memaparkan bahwa belum ada dana yang berasal dari pemerintah.
            Jika Anda ingin menikmati sejuknya suasana pegunungan yang lengkap dengan air terjun yang menyegarkan, berkunjunglah ke Suku Buthak. Ajaklah teman-teman Anda untuk sekedar selfie ataupun melepas kepenatan pikiran.
 

Dengarkan kicauan burung bersahutan yang membentuk harmonisasi indah saat berpadu dengan gemericiknya air terjun. Sebaiknya Anda berangkat pagi hari agar bisa sampai pada saat siang, hal ini dimaksudkan agar Anda tidak kedinginan jika ingin cuci muka ataupun mandi di sana. Saran lain yang bisa kami berikan adalah bawalah makanan dan minuman untuk cemilan, pastinya pengen liburannya santai dan menyenangkan, bukan?




Learn more »

Lilitan Akar Beringin



            Apa yang Anda pikirkan ketika melihat pohon beringin? Serem? Mistis? Angker? Lalu bagaimana jika akar pohon beringin melilit suatu bangunan dan membuatnya terpendam dalam waktu yang cukup lama? Itulah yang terjadi pada sebuah candi yang bernama “Candi Wringin Branjang”. Candi ini terletak di Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Tepatnya di lereng Gunung Gedhang, gunung mati yang terletak di sebelah selatan Gunung Kelud.




            Wringin Branjang, nama ini diberikan oleh masayarakat setempat. Wringin dalam Bahasa Jawa berarti beringin, sedangkan branjang berarti melilit. Jika digabungkan nama ini berarti “Candi yang terlilit akar beringin”. Menurut juru kunci candi, Bapak Sumantri, dulunya sebelum diadakan penggalian, candi ini disebut “Gua Lowo” karena hanya terlihat pintu candi yang saat itu dipercaya sebagai mulut gua dan banyak lowo (kelelawar) yang keluar dari sana. Hal ini bukan tanpa alasan, karena dulunya candi ini terpendam dibawah pohon beringin pada sebuah bukit dan terlihat seperti gua. Tidak ada sumber yang bisa dijadikan rujukan mengenai waktu penggalian candi, tapi menurut Pak Mantri sejak jaman Belanda tepatnya sekitar tahun 1905 Masehi sudah ada foto tentang candi ini. Dalam foto tersebut candi belum sebersih sekarang ini karena masih banyak akar beringin di atapnya.
 
            Saat kami kesana, suasananya sangat sejuk. Halaman candi pun juga bersih, beberapa bunga menambah kesan indah di sana. Sebuah pohon beringin juga berdiri kokoh di sebelah timur candi. Mungkin pohon ini adalah “kerabat dekat” pohon beringin yang dulunya melilit candi. Candi Hindu abad ke-13 ini berbentuk  kubus dengan atap berupa rampasan.
           
            Bangunan yang didirikan tahun 1309 Masehi atau 1231 Saka itu terlihat masih kokoh dengan susunan batu andesit di setiap detil bangunannya. Tak berbeda dengan bangunan modern, peninggalan Kerajaan Majapahit ini pun mempunyai beberapa ventilasi udara. Menghadap ke selatan dengan ukuran 4,35 meter x 3,45 meter dan tinggi 5 meter merupakan tempat pendarmaan atau ritual keagamaan Hindu pada masanya.
 
 
            Jika dulunya tempat ini digunakan untuk pendarmaan, saat ini pun juga masih digunakan masyarakat setempat untuk selamatan baritan, yaitu upacara adat yang dilakukan pada Hari Jum’at Legi setiap Bulan Suro.  Tempat ini merupakan salah satu Kawasan Cagar Budaya. Berdasarkan data yang kami dapatkan dari buku tamu di sana, rata-rata pengunjung candi ini dalam sebulan adalah 50 – 100 orang. Jumlah pengunjung bisa melebihi 100 orang jika ada rombongan dari siswa sekolah yang mengadakan studi budaya. Akan tetapi, wisatawan datang tidak hanya untuk melakukan studi budaya, setidaknya ada empat tujuan wisatawan mengunjungi Candi Wringin Branjang. Empat tujuan tersebut adalah untuk berwisata (sekedar jalan-jalan), ritual, olahraga dan studi budaya. Biasanya pada hari libur ada klub pesepeda gunung yang datang untuk berolahraga dan mengunjungi candi. Anak-anak sekolah datang untuk melakukan observasi atau studi lapangan mata pelajaran sejarah mengenai peninggalan Kerajaan Hindu di Indonesia. Tak jarang wisatawan datang untuk melakukan ritual tertentu di candi ini.
            Candi Wringin Branjang merupakan peninggalan sejarah yang harus dilestarikan. Pembenahan akses jalan menuju lokasi akan membuat candi ini semakin diminati. Bukankah akses jalan merupakan hal terpenting yang dipertimbangkan wisatawan untuk mengunjungi sebuah obyek wisata? Manusia tidak dapat terlepas dari sejarah nenek moyangnya, dengan mengunjungi obyek wisata yang sarat dengan nilai sejarah maka kita dapat mengetahui peradaban masa lalu. Dengan mengetahuinya, manusia akan lebih bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah-Nya. Love your country, love your history.
Learn more »

Jejak yang Belum Terungkap



Salah Satu Bagian Situs Gadungan
            Menurut William Haviland (dalam Warsito 2012 : 25) mengatakan bahwa “tempat-tempat dimana ditemukan peninggalan-peninggalan arkeologi di kediaman makhluk manusia pada zaman dahulu dikenal dengan nama situs. Situs biasanya ditentukan berdasarkan survey suatu daerah”. Sekitar 100 meter dari Candi Wringin Branjang ke arah utara terdapat Situs Gadungan. Jangan tertipu, maksud dari “Gadungan” di sini bukan berarti palsu tapi merupakan nama desa. Sesuai namanya, Situs Gadungan terletak di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Gandusari, Blitar.
            Berhubungan dengan letaknya, yakni di kaki Gunung Gedhang, situs ini pertama kali ditemukan di bawah pohon pisang (gedhang, dalam bahasa Jawa). Kok bisa? Menurut Pujo Utomo, juru kunci situs ini, penggalian pertama dilakukan oleh Mbah Arjo berdasarkan tuntunan mimpi yang dia peroleh.
            “Bapakku (Mbah Arjo) sing nemu, mergo ngimpi dikon njabut wit gedhang”
            Mbah Arjo merupakan ayah dari Pujo Utomo, juru kunci sejak situs ini ditemukan sampai tahun 2010. Setelah itu Mbah Arjo menyerahkan tanggung jawab sebagai juru kunci kepada Pujo Utomo karena kini dia telah renta. Pak Utomo, begitu biasanya dia dipanggil, sedang menyapu area situs saat kami datang pada 27 Juni 2015 lalu. Kini situs itu terlihat lebih terawat, keadaan sekitarnya pun juga tampak bersih. Beberapa bunga juga ditanam untuk mempercantik suasana. Sebenarnya tanpa bunga pun tempat ini terlihat tetap indah karena dikelilingi pohon pinus yang berdiri tegak menjulang tinggi. Warga setempat pun menamai tempat ini sebagai “Pinusan”.
            Situs pertama yang ditemukan oleh Mbah Arjo pada 1994 adalah Bokor Pisang. Menurut Pak Utomo, Bokor Pisang itu ditemukan tepat di bawah pohon pisang yang dicabut Mbah Arjo. Situs Gadungan terdiri dari dua tempat yang dipisahkan oleh tanah lapang yang tak terlalu luas. Di bagian selatan merupakan bangunan semacam gapura yang sudah tidak utuh. Bangunan ini dipercaya sebagai pintu masuk menuju bangunan inti yang belum ditemukan. Dilihat dari bentuknya yang seperti undak-undakan dapat dipastikan pada peradaban yang lalu tempat ini digunakan sebagai pintu masuk. Kemungkinan masih banyak situs yang belum tergali karena bangunan yang ada masih sulit diidentifikasi mengingat belum utuhnya kompleks situs ini.
 
Di bagian utara, terdapat semacam ruang atau tempat pemujaan atau ritual keagamaan, dan disampingnya terdapat potongan-potangan situs. Begini tutur Pak Utomo,
            “Iki bagian-bagian thok, kaya lingga iki, yoni ne ora enek”

Pria kelahiran 1994 itu juga mengatakan bahwa pucuk/potongan atap candi yang ditemukan di Situs Gadungan ini memiliki kesamaan dengan Candi Wringin Branjang. Menurutnya, kedua bangunan sejarah ini berhubungan. Candi Wringin Branjang merupakan tempat semacam resting area sebelum masuk gapura Situs Gadungan.
            Situs ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit. Mengenai sejarah yang akurat belum bisa dipastikan, karena data yang ada masih terus dikumpulkan. Jejak-jejak yang ada masih berusaha diungkap dan dituliskan oleh para arkeolog. Situs ini memang pernah didatangi peneliti dan mahasiswa KKN yang ingin observasi. Patung-patung yang ditemukan di situs ini sebagian besar diletakkan di Museum Penataran dan Trowulan. Patung yang dimaksud antara lain adalah Patung Reco Penthung.
            Wisatawan yang datang biasanya bertujuan untuk melihat jejak sejarah dan melakukan ritual. Ada juga yang melakukan perkemahan di sana, tempatnya di tanah lapang sudah dibahas sebelumnya. Mempelajari dan menggali sejarah memang tiada habisnya, sebagai generasi muda yang berpendidikan sudah sepantasnya kita ikut andil dalam upaya pelestarian situs sejarah nusantara. Love your country, love your history.  

Learn more »