Lilitan Akar Beringin



            Apa yang Anda pikirkan ketika melihat pohon beringin? Serem? Mistis? Angker? Lalu bagaimana jika akar pohon beringin melilit suatu bangunan dan membuatnya terpendam dalam waktu yang cukup lama? Itulah yang terjadi pada sebuah candi yang bernama “Candi Wringin Branjang”. Candi ini terletak di Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Tepatnya di lereng Gunung Gedhang, gunung mati yang terletak di sebelah selatan Gunung Kelud.




            Wringin Branjang, nama ini diberikan oleh masayarakat setempat. Wringin dalam Bahasa Jawa berarti beringin, sedangkan branjang berarti melilit. Jika digabungkan nama ini berarti “Candi yang terlilit akar beringin”. Menurut juru kunci candi, Bapak Sumantri, dulunya sebelum diadakan penggalian, candi ini disebut “Gua Lowo” karena hanya terlihat pintu candi yang saat itu dipercaya sebagai mulut gua dan banyak lowo (kelelawar) yang keluar dari sana. Hal ini bukan tanpa alasan, karena dulunya candi ini terpendam dibawah pohon beringin pada sebuah bukit dan terlihat seperti gua. Tidak ada sumber yang bisa dijadikan rujukan mengenai waktu penggalian candi, tapi menurut Pak Mantri sejak jaman Belanda tepatnya sekitar tahun 1905 Masehi sudah ada foto tentang candi ini. Dalam foto tersebut candi belum sebersih sekarang ini karena masih banyak akar beringin di atapnya.
 
            Saat kami kesana, suasananya sangat sejuk. Halaman candi pun juga bersih, beberapa bunga menambah kesan indah di sana. Sebuah pohon beringin juga berdiri kokoh di sebelah timur candi. Mungkin pohon ini adalah “kerabat dekat” pohon beringin yang dulunya melilit candi. Candi Hindu abad ke-13 ini berbentuk  kubus dengan atap berupa rampasan.
           
            Bangunan yang didirikan tahun 1309 Masehi atau 1231 Saka itu terlihat masih kokoh dengan susunan batu andesit di setiap detil bangunannya. Tak berbeda dengan bangunan modern, peninggalan Kerajaan Majapahit ini pun mempunyai beberapa ventilasi udara. Menghadap ke selatan dengan ukuran 4,35 meter x 3,45 meter dan tinggi 5 meter merupakan tempat pendarmaan atau ritual keagamaan Hindu pada masanya.
 
 
            Jika dulunya tempat ini digunakan untuk pendarmaan, saat ini pun juga masih digunakan masyarakat setempat untuk selamatan baritan, yaitu upacara adat yang dilakukan pada Hari Jum’at Legi setiap Bulan Suro.  Tempat ini merupakan salah satu Kawasan Cagar Budaya. Berdasarkan data yang kami dapatkan dari buku tamu di sana, rata-rata pengunjung candi ini dalam sebulan adalah 50 – 100 orang. Jumlah pengunjung bisa melebihi 100 orang jika ada rombongan dari siswa sekolah yang mengadakan studi budaya. Akan tetapi, wisatawan datang tidak hanya untuk melakukan studi budaya, setidaknya ada empat tujuan wisatawan mengunjungi Candi Wringin Branjang. Empat tujuan tersebut adalah untuk berwisata (sekedar jalan-jalan), ritual, olahraga dan studi budaya. Biasanya pada hari libur ada klub pesepeda gunung yang datang untuk berolahraga dan mengunjungi candi. Anak-anak sekolah datang untuk melakukan observasi atau studi lapangan mata pelajaran sejarah mengenai peninggalan Kerajaan Hindu di Indonesia. Tak jarang wisatawan datang untuk melakukan ritual tertentu di candi ini.
            Candi Wringin Branjang merupakan peninggalan sejarah yang harus dilestarikan. Pembenahan akses jalan menuju lokasi akan membuat candi ini semakin diminati. Bukankah akses jalan merupakan hal terpenting yang dipertimbangkan wisatawan untuk mengunjungi sebuah obyek wisata? Manusia tidak dapat terlepas dari sejarah nenek moyangnya, dengan mengunjungi obyek wisata yang sarat dengan nilai sejarah maka kita dapat mengetahui peradaban masa lalu. Dengan mengetahuinya, manusia akan lebih bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah-Nya. Love your country, love your history.

0 komentar: